Inovasi Pencetak Briket
Inovasi Alat Pencetak dan Kompor Briket dari
Sampah Organik
Surabaya : Teknologi tidak harus rumit apalagi mahal. Teknologi yang murah dan bermanfaat bagi masyarakat tentunya akan membawa berkah bagi kemajuan kehidupan bangsa.
Inilah yang terbersit oleh Tim dosen Jurusan Teknik Industri, Teknik Elektro dan Teknik Kimia Fakultas Teknik UKWMS sehingga tercipta rangkaian inovasi Teknologi Tepat Guna (TTG) dengan memanfaatkan barang-barang bekas, limbah sampah organik dan ilmu yang mereka dalami di Fakultas Teknik UKWMS. Adalah Yuliati, S.Si., MT., Dr. Ir. Suratno Lourentius, MS. , Ir. Setiyadi, MT. , Ir. L.M. Hadi Santoso, MM. yang membuat inovasi Alat Pencetak Briket Arang/ Batubara dalam Bentuk Tablet dan Tabung dan Kompor Briket untuk Masyarakat. “Awalnya ide ini tercetus saat mendengar banyak orang mengeluh ketika harga bahan bakar naik. Tentu saya prihatin, mengingat Indonesia begitu kaya akan energi. Hanya saja belum banyak yang tahu bagaimana cara memanfaatkan ataupun mengolahnya,” ungkap Hadi tentang latar belakang inovasinya, di Surabaya, Kamis, 14 Februari 2019.
Saat ditemui di FT UKWMS keempat dosen
tersebut kompak bekerja sama menunjukkan mulai dari cara pembuatan arang briket
dari limbah sampah organik, proses pencetakan hingga penggunaan kompor briket
inovasi mereka. Pertama-tama, pilah sampah organiknya, jangan sampai tercampur
dengan plastik atau barang tidak organik lainnya. Lalu sampah tersebut
dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari. "Selanjutnya
sampah dimasukkan ke dalam drum besi bekas dan dibakar dengan teknik pyrolysis
yakni pembakaran dengan tingkat oksigen yang rendah hingga menjadi arang,"
papar Setyadi.
Alasan kadar oksigen harus dijaga adalah agar sampah tidak terbakar habis hingga menjadi abu. Tekniknya mudah saja, saat sampah sudah mulai terbakar merata, drum ditutup dan dibiarkan beberapa saat hingga apinya padam. Hasilnya adalah arang yang terwujud dari sampah yang sudah kering tersebut. Arang tersebut kemudian diremas dan diayak sehingga menghasilkan bubuk arang yang halus. “Sebagai perekat, kita gunakan tepung tapioka yang dilarutkan dalam air dan dididihkan sehingga mengental seperti lem,” tutur Suratno seraya memperagakan.
Tidak ada takaran khusus dalam mencampur bubuk arang dengan lem, yang penting tercampur rata sehingga adonan bisa dibentuk dengan tangan. Adonan hitam tersebut lantas dimasukkan ke dalam alat pencetak briket yang berbentuk tabung ataupun tablet dan diratakan bagian atasnya dengan penutup. Lalu dengan sistem hidrolik dikempa (dimampatkan) menggunakan tangan hingga memadat. Saat penutup dibuka, arang briket yang padat tersebut tinggal didorong keluar cetakan dengan sistem hidrolik yang sama. Selanjutnya arang briket yang masih basah itu tinggal dijemur selama empat jam di bawah terik matahari hingga kering dan kemudian sudah bisa digunakan untuk menyalakan kompor.
Hadi mengungkapkan, kelebihan dari inovasi ini adalah mudah digunakan, bahan bakunya mudah didapat dan ramah lingkungan, energinya terbarukan, dan bebas perawatan. "Briket yang dibentuk juga tidak menghasilkan asap saat dibakar dan baranya sanggup bertahan hingga enam jam," katanya. Alat inovasi tim dosen tersebut berdimensi panjang 60 cm, lebar 60 cm dan tinggi 100 cm, dengan berat 30 kg, berkemampuan tekan sampai dengan dua ton, sanggup menghasilkan delapan tabung briket per sekali tekan. "Jika alat ini dapat dipergunakan oleh masyarakat luas, niscaya akan membantu dalam masalah krisis energi dan dapat menekan pengeluaran biaya rumah tangga," tutupnya.