Rencana Produk (Smt 4)
Desain/ Rancangan Produk
Pokok-Pokok
Materi
Pokok-pokok materi yang dipelajari meliputi Pengertian Biogas, Jenis-Jenis Biogas, Spesifikasi Biogas, Kelebihan dan Kekurangan Biogas, dan Konsep Biogas Berbasis Limbah Rumah Tangga.
Berdasarkan banyaknya peternakan dan pertanian yang luas, maka Indonesia memiliki potensi biogas sangat tinggi. Hasil penelitian dari salah satu peternakan sapi di Bogor menunjukkan bahwa potensi supply biogas di daerah tersebut cukup besar. Berdasarkan populasi ternak sapi perah yang ada diperkirakan bahwa volume biogas yang potensial dapat diproduksi adalah sebesar 258,4 m3 per hari sehingga dapat digunakan untuk memasak oleh 129 rumah tangga setempat (Alla Asmara, 2013).
a. Konsep Dasar Biogas
Biogas didefinisikan sebagai gas hasil
proses fermentasi bahan organik yang diurai oleh bakteri dalam sebuah reaktor.
Reaktor yang dimaksud adalah tempat untuk penumbuhan bakteri yang akan bereaksi
atau mengurai bahan-bahan organik. Reaktor untuk terbentuknya biogas disebut
biodigester. Agar bakteri dalam reaktor dapat berkembang biak dan menghasilkan
jumlah gas tertentu, maka harus dikondisikan kelembapan, suhu, dan tingkat
keasamannya. Dari hasil fermentasi diperoleh metana (CH4), CO2
, dan gas lainnya.
Kandungan sebagian besar biogas adalah gas metana (CH4), karbondioksida (CO2), dan juga beberapa kandungan senyawa lain yang jumlahnya kecil, seperti hidrogen sulida (H2S), amonia (NH3), hidrogen (H2), serta oksigen (O2). Secara umum komposisi biogas dapat ditunjukkan pada tabel 3.1 berikut.
Biogas diperoleh dari bahan organik yang
terurai di dalam alat, yaitu Digester Biogas/Biodigester. Alat ini bekerja
dengan cara menempatkan bahan organik ke suatu tempat penampungan bahan organik
pada kondisi anaerob (bebas oksigen), sehingga dapat difermentasi oleh bakteri
metanogen yang kemudian menghasilkan biogas. Selanjutnya Biogas dapat dialirkan
ke tempat penampungan biogas. Lumpur sisa aktivitas fermentasi dikeluarkan lalu
dijadikan pupuk alami yang dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian maupun perkebunan.
Perkembangan teknologi biogas terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Hal ini terlihat dengan ditemukannya berbagai macam tipe atau model digester yang digunakan. Berikut merupakan 4 tipe digester.
1) Tipe
Fixed Domed Plant
Tipe ini memiliki digester dengan posisi
penampung di bagian atasnya. Saat penguraian mulai menghasilkan gas, gas
tersebut akan menekan lumpur sisa hasil fermentasi (slurry) ke bak slurry. Bila
pasokan bahan baku biogas terus menerus, gas yang timbul akan terus menekan
slurry sampai meluap keluar. Kemudian gas digunakan/dikeluarkan melalui kontrol
valve/katup.
2) Tipe
Floating Drum Plant
Tipe loating drum plant memiliki sebuah
digester dengan penampung gas yang dapat bergerak. Jika gas mulai timbul dan
jumlahnya bertambah, maka penampung gas ini akan bergerak ke atas dan jika
terjadi sebaliknya, maka akan turun lagi.
3) Tipe Balon
Tipe balon ini memiliki konstruksi yang
sederhana menyerupai balon yang dibenamkan dalam tanah setengahnya, seperti
terlihat pada gambar 3.3. Bahan yang digunakan dapat terbuat dari plastik yang
kuat. Bagian inlet digunakan untuk memasukkan bahan baku biogas sedangkan
bagian outlet digunakan untuk membuang sisa fermentasinya. Bagian dalam balon
tersebut menghasilkan gas di bagian atas dan sisa fermentasi (slurry) di bagian
bawah. Selanjutnya gas dapat disalurkan untuk pipa gas di bagian atas.
4) Tipe Plug Flow Valve
Tipe plug low memiliki konstruksi yang terdiri dari bagian tabung penampung gas, tabung digester, dan tabung untuk sisa penguraian atau slurry. Bahan biogas masuk melalui inlet kemudian masuk ke digester dengan posisi valve 1 dan valve 2 tertutup. Tunggu beberapa hari, setelah terjadi fermentasi maka akan menghasilkan gas yang kemudian masuk ke tabung penampung melalui kontrol valve 1
b. Syarat Bahan Baku Biogas
Bahan baku biogas yang utama adalah
bahan organik dan air. Bahan baku yang akan digunakan untuk biogas harus
memenuhi kriteria berikut:
1) Bahan
organik harus mengandung unsur karbon dan hidrogen serta nitrogen karena unsur
nitrogen diperlukan bakteri untuk pembentukan sel.
2) Bahan
baku harus digiling atau dihancurkan agar terjadi fermentasi lebih cepat.
3) Perbandingan
bahan baku dan air adalah 1:1 sehingga berbentuk bubur.
4) Air
yang digunakan tidak menghambat pengembangbia kan bakteri.
5) Untuk pembentukan biogas, perbandingan unsur karbon dan nitrogen (C/N) adalah 30.
Perbandingan ideal C/N untuk proses fermentasi agar menghasilkan metana adalah 25‒30. Oleh karena itu, pada proses pencemaran bahan baku diusahakan memenuhi rasio ideal.
c. Komponen Utama Reaktor Biogas
Komponen Utama Reaktor Biogas disebut
Biodigester. Biodigester memiliki 6 bagian utama, yaitu:
1) inlet
(tangki pencampur) berfungsi untuk tempat kotoran hewan masuk,
2) reaktor
(ruang pencernaan anaerob),
3) penampung
gas (ruang penyimpanan),
4) outlet
(ruang pemisah),
5) sistem
pengangkut gas, dan
6) lubang kompos kotoran hewan yang telah hilang gasnya/ bio-slurry.
Campuran kotoran dan air (dicampur dalam saluran masuk atau ruang pencampur) mengalir melalui saluran pipa menuju digester. Pencampuran tersebut menghasilkan gas melalui proses pencernaan di reaktor dan gas yang telah dihasilkan, kemudian disimpan dalam penampung gas (bagian atas kubah). Setelah itu, slurry mengalir keluar dari digester menuju outlet dan menjadi bio-slurry mengalir ke lubang slurry melalui overlow, kemudian gas dialirkan ke dapur melalui saluran pipa.
Tahapan selanjutnya adalah melakukan tahap perancangan. Tahap perancangan yang diperlukan dalam membuat sebuah produk rekayasa teknologi terapan, yaitu mencari ide terkait produk yang akan dibuat dan menuangkannya dalam bentuk desain. Tahap perancangan merupakan tahap yang sangat penting untuk memperkirakan, menghitung, menggambar, dan cara pengujian agar memperoleh gambaran yang jelas.
Ide-ide produk dan perancangan produk rekayasa digambarkan dalam sketsa agar ide terlihat atau berwujud. Ide-ide rancangan dapat disajikan menjadi sketsa desain dalam sebuah buku atau lembaran kertas. Sketsa desain tersebut kemudian dipilih berdasarkan kemungkinan dibuat atau dilakukan dengan mempertimbangkan jenis bahan, alat, dan teknik agar lebih efisien dan efektif. Selain sketsa desain ide juga dapat diimplementasikan dalam bentuk diagram berikut.
Bahan baku merupakan limbah yang akan diurai menjadi biogas. Sumber bahan baku dapat diperoleh dari limbah peternakan, seperti kotoran sapi, limbah pertanian seperti jerami padi, atau limbah/sampah organik seperti buah-buahan dan sayuran busuk. Limbah tahu juga dapat digunakan sebagai sumber biogas. Pemanfaatan limbah tahu skala rumah tangga ditambah kotoran sapi sampai volume 1,525 liter dengan waktu fermentasi 14 hari (Hanifah Nisrina, 2018). Selanjutnya pada bahan baku ini terjadi penguraian oleh bakteri (terjadi fermentasi) dalam biodigester.
Proses dalam biodigester menghasilkan berbagai gas yang didominasi gas metana. Gas tersebut ditampung dalam wadah/ bak penampung. Setelah itu, sisa penguraiannya ditampung dan dimanfaatkan sebagai pupuk atau yang lainnya. Setelah gas metana ditampung, kita dapat memanfaatkannya untuk berbagai kebutuhan, seperti memasak, penerangan, dan pembangkit listrik.
Perancangan biodigester dipengaruhi oleh kuantitas, kualitas bahan organik, jenis bahan organik yang ada, dan temperatur proses fermentasi. Ukuran volume biodigester dapat ditentukan melalui rumus berikut :
Keterangan:
Sd = jumlah
masukan bahan baku
RT = retention time (waktu bahan baku berada dalam digester).
Waktu retensi (RT) dipengaruhi temperatur operasi biodigester. Wilayah Indonesia memiliki temperatur yang stabil sepanjang musim, maka banyak biodigester dibuat dan beroperasi pada temperatur kamar. Pada kondisi biodigester semacam ini, dalam perancangan biodigester, temperatur operasi dapat dipilih 1‒2 oC di atas temperatur tanah. Sedangkan RT untuk biodigester sederhana tanpa pemanasan dapat dipilih 40 hari (Werner, 1989). Pemasukan bahan baku tergantung seberapa banyak air harus dimasukkan ke dalam biodigester sehingga kadar bahan baku padatnya sekitar 4‒8%.
Umumnya, pencampuran kotoran dari air
dibuat dengan perbandingan antara 1:3 dan 2:1 (Uli Werner, 1989). Di Indonesia
untuk kotoran sapi umumnya dicampur dengan air pada perbandingan 1:1 sampai 1:2
Pokok-Pokok Materi
Pokok-pokok materi yang dipelajari di antaranya mengenai Pengertian Sampah, Jenis-Jenis Sampah, Kompos dan Pengomposan, Tahapan dan Proses Pengomposan, Aktivator Pengomposan, Penggunaan dan Standarisasi Pengomposan, Komposter, Jenis-Jenis Komposter, serta Pengolahan dan Ekstraksi Komposter Takakura.
Konteks Fungsi Produk
a. Ihwal Sampah
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/ atau proses alam yang berbentuk padat (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. 6 Tahun 2022). Dalam referensi lain, sampah dapat diartikan sebagai sisa suatu usaha atau kegiatan (manusia) yang berwujud padat (baik berupa zat organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak terurai) dan dianggap sudah tidak berguna lagi (sehingga dibuang ke lingkungan) (Nasih dalam Sujarwo dkk, 2014:1).
Di Indonesia, diperkirakan setiap orang menghasilkan sekitar 0,68 kg sampah per hari (data World Bank). Jika dihitung dalam skala yang lebih luas, yaitu skala nasional, terdapat sebanyak 67,8 juta ton sampah/tahun (menurut data KLHK). Data tersebut menjadikan Indonesia berada pada peringkat kedua dunia sampah plastik ke lautan, setelah Cina. Jika dirinci lebih jauh persentase komponen sampah dapat diuraikan sebagai berikut: karet 5%, kertas 9%, plastik 14%, kaleng 9%, lain-lain 3%, dan sampah organik sebesar 60%. Sementara itu, data persentase pengolahan dan pembuangan sampah terbesar masih bergantung pada Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) atau Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang sudah kelebihan kapasitas sebesar 69%. Sisanya sebesar 24% merupakan pengolahan sampah secara ilegal, sementara sampah yang dapat didaur ulang berada pada kisaran 7%.
Sampah merupakan salah satu masalah yang penanganannya tidak kunjung usai. Hampir semua wilayah di seluruh penjuru dunia mengalaminya. Bukan hanya negara yang sedang berkembang, negara maju sekalipun juga mengalami permasalahan seputar sampah. Tidak terkecuali negara kita, di mana rata-rata setiap harinya kota kota besar di Indonesia menghasilkan puluhan ton sampah.
Sumber sampah tersebut dapat berasal dari berbagai kehidupan, mulai dari sampah rumah tangga hingga sampah industri yang semakin hari semakin banyak.
Penanganan sampah dalam keseharian
biasanya dikumpulkan di suatu tempat tertentu untuk kemudian diangkut oleh truk
khusus pengangkut sampah. Selanjutnya sampah tersebut disimpan di tempat
pembuangan akhir. Proses tindak lanjut terhadap pengolahan sampah memang ada,
namun persentasenya kecil jika dibandingkan dengan volume sampah yang terus
datang setiap hari. Pemilahan biasanya dilakukan oleh para pemulung dengan
memisahkan sampah berdasarkan jenisnya. Jika ditemukan sampah yang masih bisa
digunakan atau bernilai ekonomis, maka sampah akan diambil. Akan tetapi, jika
tidak ada manfaat yang dapat diambil, maka sampah akan dibiarkan begitu saja.
Seiring dengan bertambahnya waktu, maka sampah akan terus menumpuk hingga menimbulkan adanya bukit sampah seperti yang sering kita lihat pada beberapa berita atau peristiwa. Timbunan sampah yang menumpuk itu, tentu saja akan menimbulkan banyak dampak negatif, di antaranya pemandangan yang kurang nyaman, bau yang menyengat, dan dampak lain yang tentu saja berpengaruh terhadap kondisi kesehatan lingkungan sekitar. Dengan banyaknya kemungkinan dampak negatif, penanganan terhadap masalah sampah merupakan prioritas yang harus disegerakan untuk diselesaikan.
Berdasarkan jenisnya, sampah dapat
dibedakan menjadi sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik merupakan
sampah yang berasal dari makhluk hidup, baik itu manusia, hewan, maupun
tumbuhan dengan karakteristik mudah terurai secara alami. Sampah organik dapat
dikatakan sebagai sampah ramah lingkungan karena selain dapat terurai secara
alami (biodegradable) juga bisa diolah kembali menjadi suatu yang bermanfaat
bila dikelola dengan cara yang tepat. Akan tetapi, apabila tidak dikelola
dengan benar, sampah organik pun akan menimbulkan penyakit, di antaranya bau
yang kurang sedap serta efek lain terhadap kesehatan dikarenakan proses
pembusukan sampah organik yang begitu cepat.
Berdasarkan jenisnya, sampah organik dapat digolongkan menjadi 2, yaitu sampah organik basah dan sampah organik kering.
1) Sampah
Organik Basah
Sampah organik basah adalah sampah organik dengan karakteristik terdapat kandungan air di dalamnya. Sampah ini merupakan jenis sampah yang berasal dari sisa pengolahan atau sisa makanan rumah tangga atau merupakan timbunan hasil sisa makanan, seperti sayur mayur, kulit buah-buahan, kulit bawang, atau yang sejenisnya. Sifat umumnya adalah mengandung air dan cepat membusuk sehingga mudah menimbulkan bau yang tidak sedap.
2) Sampah
Organik Kering
Sampah organik kering adalah sampah
organik yang sedikit kandungan airnya. Sampah golongan ini dikelompokkan
menjadi 2 (dua) jenis, yakni sampah tak lapuk dan sampah mudah lapuk. Sampah
tak lapuk merupakan jenis sampah yang benar-benar tak akan bisa lapuk secara
alami meski sudah memakan waktu selama bertahun-tahun, contohnya kaca dan mika.
Sedangkan untuk sampah mudah lapuk, sampah jenis ini akan bisa lapuk
perlahan-lahan secara alami.
Sampah dapat bersumber dari beragam kegiatan yang dilakukan oleh manusia, di antaranya kegiatan rumah tangga, pertanian, sisa bangunan, aktivitas umum dan perdagangan, pelayanan perkantoran, serta dari bidang industri. Adapun dari semua aktivitas tersebut, sampah yang paling banyak dihasilkan adalah berasal dari sampah rumah tangga (Suwerda, 2012).
b. Penanganan Sampah
Bila dilihat secara sekilas mengenai sampah, kita beranggapan bahwa sampah tidak ada gunanya. Selain merupakan masalah lingkungan juga dapat menimbulkan masalah lain yang erat kaitannya dengan kesehatan. Akan tetapi, apabila dikaji secara mendalam mengenai pengolahan dan pengelolaannya, maka sampah merupakan sumber daya potensial yang dapat berdampak ke hampir semua aspek kehidupan. Dengan teknologi dan penanganan yang tepat, sampah dapat menjadi salah satu sumber energi terbarukan yang dapat menjadi alternatif kelangkaan energi. Kemudian dengan prinsip 3R (Reuse, Reduce, dan Recycle), sampah dapat membantu dalam mengondisikan lingkungan sekitar.
Pengelolaan sampah secara umum terdiri atas pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah terdiri dari pembatasan timbunan, pendauran ulang, dan pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan penanganan sampah meliputi pemilahan, pengumpulan, dan pengolahan sampah.
Dalam melakukan pengelolaan sampah, perlu dilakukan beberapa hal, seperti pengurangan jumlah sampah melalui kebijakan, pendauran ulang, dan penggunaan kembali. Selanjutnya diikuti dengan upaya penanganan sampah yang terdiri dari pemilahan jenis sampah, pengumpulan, dan pengolahan sampah. Dengan dilakukannya hal tersebut diharapkan dapat mengurangi jumlah volume sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
c. Kompos dan Pengomposan
Salah satu cara dalam menyiasati tingginya volume sampah organik agar tidak mencemari lingkungan adalah dengan cara pengomposan. Pengomposan merupakan salah satu cara yang dapat kita lakukan untuk mengubah sampah organik menjadi bentuk lain yang bernilai, seperti pupuk. Proses pemanfatan sampah organik menjadi kompos merupakan upaya yang dapat kita maksimalkan dalam menanggulangi dan mengurangi timbunan sampah, yang akhirnya berdampak pada pengurangan pencemaran lingkungan.
Kompos merupakan hasil pelapukan dari berbagai bahan yang berasal dari makhluk hidup, seperti dedaunan, cabang dan ranting tanaman, kotoran hewan, dan sampah (Siti Latifah dkk, 2014:1). Pada praktiknya di lapangan, kompos dapat terbentuk dengan sendirinya, namun tentunya akan memerlukan waktu yang cukup lama. Untuk mengefektifkan waktu pembuatan kompos dapat dibantu dengan aktivator.
Pengomposan dilakukan untuk tujuan pengelolaan lingkungan dengan memanfaatkan kembali limbah yang tersedia sehingga dapat bermanfaat bagi dunia pertanian sekaligus membuat lingkungan menjadi nyaman dan asri. Di samping itu, kita juga dapat mengatur jenis kompos yang dihasilkan dengan menyesuaikan pada ketersediaan sampah organik dan jenis komposter yang akan digunakan. Faktor waktu juga dapat kita atur sedemikian rupa, yaitu dipercepat dengan menggunakan aktivator di samping cara yang alami.
Terkait hal yang lainnya, jika proses pengomposan dilakukan secara tekun, maka akan menghasilkan pendapatan. Hal ini akan semakin potensial jika mampu dibuat secara skala besar dan mampu menumbuhkan semangat untuk berwirausaha.
Kompos sangat beragam jika dilihat dari jenis dan metode yang digunakan dalam prosesnya, mulai dari yang berbentuk padatan hingga yang berbentuk cair. Kompos itu sendiri dapat dibuat dari bahan yang pada umumnya homogen, seperti kulit durian, jerami, eceng gondok, dan lain-lain. Kompos juga dapat berupa bahan dasar berbagai campuran sampah organik, seperti campuran sayuran dari pasar. Pada umumnya, penamaan kompos disesuaikan dengan bahan dasar utamanya, misalnya saja kompos yang dibuat dari bahan jerami, maka hasil akhirnya dinamai dengan kompos jerami.
Bagi kompos yang terjadi secara alamiah tanpa diberikan aktivator yang biasa digunakan untuk mempercepat proses pengomposan, biasanya disebut sebagai kompos saja. Jika diberi tambahan berupa larutan untuk mempercepat penguraian, maka disebut kompos bokashi.
Bahan baku pengomposan adalah semua
bahan yang mengandung unsur karbon dan nitrogen, seperti kotoran hewan, sampah
hijau, sampah kota, lumpur cair, dan limbah industri pertanian. Pada tabel
berikut kita dapat melihat bahan-bahan organik yang dapat dijadikan sebagai
kompos.
Tahapan selanjutnya adalah tahap perencanaan. Tahap perencanaan yang diperlukan dalam membuat sebuah produk rekayasa teknologi terapan, yaitu mencari ide terkait produk yang akan dibuat dan menuangkannya dalam bentuk desain. Tahap perencanaan merupakan tahap yang sangat penting. Dalam menciptakan sebuah produk rekayasa teknologi terapan diperlukan ide dan perencanaan yang baik.
Ide-ide produk dan perencanaan produk rekayasa digambarkan dalam sketsa agar ide terlihat atau berwujud. Ide-ide rancangan dapat disajikan menjadi sketsa desain dalam sebuah buku atau lembaran kertas. Sketsa desain tersebut kemudian dipilih berdasarkan kemungkinan dibuat atau dilakukan dengan mempertimbangkan jenis bahan, alat, dan teknik agar lebih efisien dan efektif. Adapun terkait ide produk yang akan dibuat didahului kajian literatur terhadap kompos terutama mengenai alat dan bahan yang harus disiapkan.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses pembuatan kompos, seperti menjaga keseimbangan komposisi, kadar air, pH, dan temperatur ideal melalui penyiraman dan pembalikan. Pada tahap awal proses pengomposan, temperatur kompos akan dipanaskan hingga mencapai suhu 65‒750 °C sehingga organisme patogen, bibit penyakit tanaman, serta bibit gulma yang berada pada limbah yang dikomposkan akan mati.
Adapun beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam proses pengomposan di antaranya:
a. Kelembapan timbunan bahan kompos.
b. Aerasi timbunan.
c. Suhu yang harus dijaga (suhu tertinggi sekitar
60 0C).
d. Proses
pengomposan secara umum memproduksi asam asam organik yang membuat pH menjadi
turun.
e. Keasaman dibuat netral dengan melakukan
penambahan bahan pengapuran.
f. Sering kali ditambahkan pupuk yang mengandung unsur hara P pada timbunan guna meningkatkan dan mempercepat proses pengomposan.
Salah satu indikator penting pada metode pengomposan Takakura adalah untuk mengoptimalkan proses degradasi yang terjadi secara alami dari sampah organik menjadi kompos halus. Setidaknya terdapat 3 hal yang harus kita perhatikan dalam menghindari kegagalan pengomposan yang dilakukan secara aerobik.
Berikut
penjelasan dari masing-masing faktor tersebut:
a. Beragam mikroorganisme fermentasi diperlukan untuk menyelesaikan proses dekomposisi terutama jika sampah organik berasal dari dapur, pasar, kebun, hingga sampah organik industri. Ketika memasuki tahap di mana terjadi proses penguraian, berbagai jenis mikroorganisme menjadi aktif. Berdasarkan hal tersebut dapat dipastikan kompos mengandung berbagai jenis mikroorganisme. Kita juga dapat memperoleh mikroorganisme ini dari fermentasi makanan yang tersedia secara lokal, tanah humus, dan jamur.
b. Dalam
proses pembuatan kompos terdapat banyak metode, antara metode satu dengan yang
lain tidak banyak berbeda karena metode tersebut hanya merupakan modiikasi dari
metode lain. Pengomposan berdasarkan ketersediaan udara dibedakan menjadi 2
jenis, yakni aerobik dan nonaerobik. Proses pengomposan aerobik membutuhkan
udara dari luar. Oleh karena itu, pada proses ini perlu dilakukan aerasi.
Aerasi bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu pasif dan aktif. Aerasi pasif
adalah cara pengaliran udara tanpa menggunakan alat bantu jadi udara masuk ke
dalam proses pengomposan melalui beda tekanan antara luar dan dalam ditimbun
bahan baku kompos, sedangkan aerasi aktif dilakukan dengan menggunakan tekanan
yang umumnya berasal dari mesin.